khitobah berfikir kritis dalam Islam

Umat Islam dan Krisis Berpikir Kritis
Menghadapi karut-marut dunia maya era hiper-reality, umat Islam perlu bersikap kritis. Sebab tradisi kritik adalah bagian dari kemajuan Islam.
 
Assalamualaikum mari kita dengarkan tentang kitobah cara berfikir kritis dalam beragama Islam
Di sini saya Desi putri Kurnia wati akan menjelaskan tentang apa itu cara berfikir kritis

Di era hiper-reality dimana kenyataan dan fakta telah terganti oleh dunia maya, kita banyak menyaksikan komentar dan postingan negatif, seperti nyinyir, provokasi, agitasi lebih mendominasi ketimbang kritik konstruktif. Orang dengan gadgetnya masing-masing, lebih mengutamakan ego dalam menyikapi sesuatu daripada akal sehatnya. Sebaliknya, dalam menerima informasi banyak orang meyakini ‘kebenaran populis’ informasi yang viral ketimbang kebenaran fakta. Akhirnya, muncul sikap taklid dan fanatik yang membabi buta ditambah sikap hujat-menghujat yang tidak etis. Informasi yang dianggap benar melahirkan sikap antikritik, sebaliknya, yang dianggap salah banjir dengan hujatan dan cemooh.

Benar, hari ini kita sedang hidup dalam perang dunia maya. Keadaan di mana hoaks, disinformasi, lebih ‘memesona’ dan menarik perhatian ketimbang fakta dan berita konvensional. Saya sangat merasakan hawa tersebut, misalnya ketika menjelang tanggal 2 Desember kemarin. Twitter diramaikan dengan tagar revolusi akhlak, reuni 212 beserta posterdengan berbagai kata agitasi dan hasutan ‘melawan’ disana. Termasuk juga isu ceramah TNI yang mengatakan tuhannya bukan orang Arab, dan seterusnya. Jika orang yang membaca ini tidak arif dan kritis, ia akan terprovokasi lalu mengambil tindakan serupa.
    Keadaan ini juga diperparah dengan dakwah dunia maya kelompok puritan yang antikritik dan pembaharuan. Mereka melakukan dakwah menolak bid’ah, ijtihad, tajdid, kemudian menyeru untuk kembali kepada Al-Quran dan hadis saja. Gerakan yang justru akan membuat ajaran Islam mandek dan tidak mampu melampaui zaman. Islam takkan mampu menjawab problem-problem modern semacam: teknologi 4.0, pandemi, politik identitas, kapitalisme, dll. Islam akhirnyamenjadi agama yang tertutup dan terbelakang dari kemajuan dunia hari ini

Fenomena di atas kemudian menguatkan pandangan saya bahwa di era hiper-reality ini agama menjadi lahan paling basah dipolarisasi untuk kepentingan-kepentingan pragmatis. Ajaran-ajarannya yang murni bisa menjadi hasutan. Hadis dan ayat-ayat dengan mudahnya dihargai ‘murah’ hanya untuk ‘menina-bobokan’ hati banyak orang. Oleh sebab itu, menurut saya umat Islam hari ini tengah krisis sikap kritis menanggapi sesuatu, khususnya isu-isu agama. Baik itu sikap penerimaan maupun penolakan.

  Peran Kritik dalam Peradaban Islam
Islam sebagai agama yang paripurna justru menganjurkan umatnya untuk bersikap kritis sebelum menanggapi sesuatu. Mula-mula perlu dipahami bahwa kritik tidak selamanya berarti upaya mencari kelemahan dan celah dari sesuatu sehingga menjadi negatif. Kritik sejatinya adalah menggali sesuatu secara objektif berdasarkan fakta. Oleh sebab itu, berpikir kritis (at-tafkir an-naqdi) berarti suatu metode berpikir untuk tidak menerima sesuatu sebelum menguji kebenarannya. Sikap ini telah diajarkan oleh Al-Quran, Surah Al-Hujurat ayat 6, “Yâayyuha lladzîna âmanû in jâakum fâsiqun binabain fatabayyanû” yang artinya, “Wahai orang yang beriman! Jika datang kepadamu seorang fasik dengan sebuah kabar, maka bertabayunlah (klarifikasi akan kabar tersebut) ”

Lebih lanjut, Syekh Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq dalam bukunya, Al-Fikr Ad-Dini wa Qadhâyâ Al-'Ashr menyebut bahwa berpikir kritis memiliki peran siginifikan dalam membangun peradaban Islam. Tradisi Islam menurutnya tidak pernah menolak kritik dan pembaharuan, sebab Islam paham betul realitas manusia yang dinamis dan terus berkembang. Kritik adalah upaya interaksi antar pemikiran, suatu dialektika antara negasi dan afirmasi. Bahkan sejatinya saat manusia berpikir, ia sedang melakukan kerja kritis terhadap dirinya sendiri: pengetahuan dan tindakannya. Dengan ini, kritik akan membuat kehidupan manusia lebih memiliki makna dan nilai. Pada level individu, manusia akan bisa mengolah kebaikan dan keburukan, bisa berpikir panjang sebelum bertindak. Manusia akan dewasa dengan sikap kritis. Selanjutnya pada level masyarakat, tradisi berpikir kritis akan membangun kemajuan taraf hidup mereka di samping juga tetap berperan menjaga nilai-nilai terbesar identitasnya. Dengan demikian kritik sejatinya adalah gerak manusia menuju kemajuan.

Menurut Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq, hal itu dibuktikan dalam sejarah peradaban Islam. Adanya kritik dan berpikir kritis membuat tradisi filsafat dan teologi berkembang pesat dalam peradaban Islam. Dalam sejarah direkam dialektika antara para teolog (mutakallimin) dan filosof, yang terbesar di antaranya adalah dialektika antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Al-Ghazali dalam sebuah riset, bahkan disebut memiliki metode skeptisisme kritis (manhaj asy-syakki an-naqdi)sebelum gagasan itu dikemukakan oleh René Descartes di abad 16 M. Ibnu Rusyd dengan sikap kritis, mampu membangun hubungan baik antara syariat dan filsafat. Ia berkata untuk menyikapi pro-kontra filsafat Yunani, “Kita melihat pada pendapat dan ajaran mereka melalui karangan mereka, apa-apa yang kemudian sesuai dengan kebenaran, kita menerimanya, serta kita turut bahagia dan berterimakasih atas pencapaian mereka. Dan apa-apa yang menyalahi kebenaran, kita tidak menerima dan tentu mewaspadainya”.

Selain dalam khazanah filsafat dan ilmu kalam, menurut Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq, metodologi berpikir kritis dalam Islam juga tercermin dalam tradisi ilmu hadis baik riwayah maupun dirayah. Hal itu kita temukan dalam sosok Imam Al-Bukhari yang telah mempertaruhkan hidupnya demi menjaga hadis Nabi. Setelah ia berhasil mengumpulkan 500.000 hadis yang ia dapat dari orang-orang, ia lalu meletakkan metode dan syarat-syarat khusus untuk memilah antara hadis shahih dan dha'if —yang kita kenal dalam ulumul hadits sebagai syarat sah hadis versi Imam Al-Bukhari. Setelah menguji hadis-hadis tersebut baik dari segi matan maupun sanadnya, Imam Al-Bukhari berhasil melahirkan kitab monumental yang terkenal dan abadi, Shahih Al-Bukhari yang mengandung kisaran sembilan ribu hadis setelah upaya seleksi dari sekian ratus ribu hadis.

Dari sini kemudian kita paham peran penting kritik dan berpikir kritis dalam kehidupan manusia secara umum, khususnya dalam peradaban Islam. Terlebih hari ini kita butuh untuk membangun masyarakat muslim yang kritis dan tidak antikritik. Umat Islam akan sanggup secara jernih melihat mana ajaran Islam yang murni, mana yang sudah tercemar. Di mana saatnya mereka menerima dan sebaliknya, di mana saat mereka perlu bersuara lantang atau mereka harus diam dan mengevaluasi diri. Berpikir kritis adalah solusi umat Islam menghadapi era hiper-reality, disinformasi dan carut marut media sosial. Hal yang kemudian bisa membawa Islam benar-benar tetap teguh dan maju melampaui zaman yang sudah terlampau edan. Tabik

Postingan populer dari blog ini

Qada dan qadar